Kemaren untuk pertama kalinya di dalam hidup saya, saya menjejak naik Bis Transjakarta untuk pertama kalinya dan sendirian. * maaf kampung *
Saya berniat mencari Gramedia di kota Jakarta ini. Mendengar kabar bahwa Andrea Hirata sudah launching novel terbarunya menyebabkan urgensi di dalam dada ini membuncah untuk mengunjungi Gramedia. Saya tidak mau kehabisan novelnya, dan saya tidak mau jadi orang yang terakhir membaca novelnya.
Novel dan membaca memang sudah jadi teman saya sedari kecil. Saya punya koleksi 1000 komik dari berbagai macam judul. Saya punya 50 lebih novel. Saya punya satu lantai di rumah saya yang khusus didedikasikan untuk buku. Yang bakalan saya ceritain di postingan saya selanjutnya.
Oke, saya pun membulatkan tekad untuk dapat menyentuh Gramedia Matraman yang katanya tempatnya luar biasa. Setelah searching kesana-kemari, saya disuguhkan fakta bahwa untuk sampai kesana hanya butuh naik Bis Transjakarta. Mudah kawan. Mudah. Haha.
Selepas jam kantor habis, jam 5 sore, saya pun bergegas ke terminal Busway terdekat.
Membeli tiketnya yang murah meriah.
Lalu menunggu.
Menunggu.
Dan menunggu.
Hingga akhirnya sang Bis pun datang menyapa. Saya sudah ada di garda terdepan untuk masuk ke dalam Bisnya. Semenntara itu di belakang saya sudah berbaris dengan ganasnya puluhan orang lain yang juga hendak masuk ke Bis yang sama. Saya pun mengencangkan ikat pinggang. Menyingsingkan lengan baju. Dan menarik napas dalam-dalam sembari mensugesti diri sendiri, “kamu pasti bisa Zul. KAMU PASTI BISAA!!”
Bisnya penuh sesak. Dan saya pun memaksakan diri untuk masuk ke space kecil yang masih tersisa. Namun ternyata bukan saya saja yang nekat maju menerjang. Saya justru diterjang. Diterjang oleh gelombang orang di belakang saya. Maafkan dosa-dosa anakmu ini Ibu, kalau-kalau saya habis disini.
“Masih muat. Dorong terus. Masih muat.” celetuk seorang pemuda tegap nan tinggi besar sembari mendorong saya terus masuk ke dalam.
Saya hanya bisa pasrah.
“Masuk lagi.”
“Ayo masuk masih bisa.”
Masih hanya bisa pasrah.
“Geser dong mas.”
Banyak ternyata yang memaksakan masuk. Maaf saya ralat, banyak banget. Sudah tidak jelas posisi tubuh saya. Yang saya ingat, saya berdiri di hadapan seorang wanita sisanya buram. Namun saya terus bertahan. Saya hanya perlu naik busway ini untuk satu halte sebelum berganti koridor.
Ketika saya sampai di halte berikutnya saya pun keluar dengan merdekanya.
Namun satu-satunya hal yang saya ingat ada di bis itu, sang wanita tersebut, berteriak dengan kencangnya.
“ENAK AJA LO NGINJEK KAKI ORANG. LO PIKIR PUNYA LO APA!!”
*saya dimarahi, dan saya akhirnya hanya menemui kenyataan bahwa sang buku bahkan belum muncul disana.”